Sabtu, 19 Januari 2019

Ringkasan Cerita Filim Adrift 2018

Ringkasan Cerita Filim Adrift 2018

Ringkasan Cerita Filim Adrift 2018
Ringkasan Cerita Filim Adrift 2018

Ringkasan Cerita Filim Adrift 2018, Sepasang kekasih (or soo-to-be one) berenang di telaga. Mereka tertawa ditemani matahari yang bersinar dari kejauhan, memberi kesan romantis hangat di ekspresi dominan panas yang hangat, sementara Where’s My Love milik SYML mengalun lembut di belakang. Elemen-elemen audiovisual tersebut dikemas mengikuti hukum dasar “How to make a romantic scene”. Keseluruhan Adrift mengikuti hukum dasar, menentukan bermain aman, namun itulah mengapa filmnya bekerja dengan baik. Sutrdara asal Islandia, Baltasar Kormákur (Contraband, 2 Guns, Everest), hanya perlu menangani hal-hal esensial di tengah proses produksi berat di tengah lautan yang memakan waktu beberapa minggu.

Adrift 2018

Adrift merupakan pembiasaan buku non-fiksi Red Sky in Mourning: A True Story of Love, Loss, and Survival at Sea buatan Tami Oldham Ashcraft dan Susea McGearhart, yang mengangkat usaha Tami bertahan hidup di maritim lepas selama 41 hari pasca kapalnya mengalami kecelakaan. Pertama kita bertemu Tami (Shailene Woodley), kapalnya telah rusak parah dihantam badai. Dia berteriak, mencari tunangannya, Richard (Sam Claflin). Keduanya sedang berlayar dari Tahiti menuju San Diego, dalam rangka mengantarkan kapal pesiar “Hazana” ketika Badai Raymond menerjang. Lalu kita dibawa mundur menuju momen pertemuan mereka.

Skenario garapan Aaron Kandell, Jordan Kandell, dan David Branson Smith memakai narasi non-linier, melompat antara dua linimasa: usaha di tengah maritim dan kebersamaan senang Tami-Richard. Pilihan bentuk itu bertujuan menguatkan dampak emosi, di mana berulang kali, sesaat sesudah mengunjungi kebahagiaan, kita segera dilempar menuju penderitaan. Tidak selalu berjalan mulus, tapi chemistry Woodley dan Claflin cukup besar lengan berkuasa untuk tampak meyakinkan sebagai pasangan yang sama-sama yakin telah menemukan tambatan simpulan masing-masing. Menyenangkan melihat mereka bersama, dan itu menguatkan pesan filmnya, adalah mengenai cinta yang memberi kekuatan.

Jalannya Cerita Filim Adrift 2018

Poin utamanya memang bukan soal detail bertahan hidup, walau sesekali kita melihat apa yang Tami lakukan, dari membuatkan layar, mengumpulkan sisa makanan, atau memperbaiki kerusakan di sana-sini. Adrift bukan perihal apa yang Tami lakukan, melainkan apa yang mendorongnya melaksanakan itu. Apa yang menyuntikkan kekuatan, apa yang menyokongnya semoga senantiasa berdiri walau berulang kali dijatuhkan. Jawabannya tentu saja “cinta”. Sounds too cheesy? Probably, you haven’t found true love then.

Woodley memerankan karakternya dengan baik. Karakter yang menyatakan keengganan untuk pulang, hingga semesta mengabulkan undangan itu, yang justru mengakibatkan keinginannya kembali ke rumah lebih besar dari sebelumnya. Karakter yang ingin mengarungi samudera tanpa ujung dengan cinta selaku layar pencetus sekaligus jangkar yang menjaganya bertahan di realita. Performa itu sayangnya direcoki keputusan para penulis naskah sepenuhnya menanggalkan kesubtilan bertutur. Woodley dituntut menyebutkan hampir semua yang ia lihat, rasakan, dan insiden apa yang sedang terjadi selaku alat penjelas kepada penonton, walau di banyak kesempatan, bahasa visual saja sudah cukup. Kadang sang aktris nampak kolam sedang bermain di B-movie, di mana karakternya meneriakkan detail segala peristiwa.

Babak pertengahannya sewaktu rintangan yang karakternya hadapi semakin terjal, Adrift justru seolah terhanyut dalam tumpuan penceritaan kondusif miliknya. Fase ini menentukan bagi penonton, apakah menentukan mengalah dalam dinamika yang perlahan surut, atau tetap bertahan, berlayar memasuki titik puncak yang bakal mencengkeram kuat. Kormákur mengurung protagonisnya dalam angin puting-beliung raksasa dibungkus imbas visual meyakinkan serta tata bunyi bombastis, sementara saya di dingklik penonton dibentuk tak berdaya dicengkeram ketegangan, meski intensitasnya sesekali naik-turun jawaban lompatan latar waktu alurnya. Karena mendadak pindah ke maritim hening terang menurunkan tensi, sehinnga perlu usaha lebih untuk melambungkannya kala filmnya kembali memasuki gempuran badai.

Konklusinya menyentuh, sekali lagi berkat kemampuan Baltasar Kormákur menangani elemen-elemen formulaik. Menyoroti soal memori, sambil (lagi-lagi) ditemani alunan lagu akustik manis, kali ini Picture in A Frame-nya Tom Waits, Kormákur sukses membangun epilog emosional. Bukan disebabkan pembangunan konsisten yang terbayar lunas, melainkan kepandaian sang sutradara memanipulasi rasa melalui formula. Bukan cara pandai apalagi segar, tapi efektif. Adrift pun bukan film luar biasa, tapi terang tontonan yang bekerja dengan baik.

Jumat, 18 Januari 2019

Ringkasan Cerita Filim The Spy Who Dumped Me 2018

Ringkasan Cerita Filim The Spy Who Dumped Me 2018

Ringkasan Cerita Filim The Spy Who Dumped Me 2018
Ringkasan Cerita Filim The Spy Who Dumped Me 2018

Ringkasan Cerita Filim The Spy Who Dumped Me 2018, The Spy Who Dumped Me
 adalah 2 hal: 1) Film dengan bahan sangat lemah sehingga sepenuhnya bergantung pada penampilan cast, dan 2) Aktris dengan bakat luar biasa sehingga bisa mengangkat kualitas film, melaksanakan yang terbaik supaya filmnya sanggup bekerja  di bahan terlemah sekalipun. Sambutlah Kate McKinnon, salah satu anggota terlucu Saturday Night Live (SNL) masa sekarang yang masih mencari breakthrough movie pasca reboot Ghostbusters (2016) remuk di pasaran. McKinnon amat memikat, bisa jadi anda terkekeh hanya alasannya melihat ekspresinya, bahkan dalam lawakan yang tidak lucu.

The Spy Who Dumped Me 2018

McKinnon memerankan Morgan (nama belakangnya bakal jadi amunisi humor nantinya), perempuan dengan sikap eksentrik yang juga sahabat Audrey (Mila Kunis), yang dalam buddy comedy ini berperan sebagai “si normal”. Dialah gadis yang dicampakkan oleh seorang mata-mata, yakni biro CIA berjulukan Drew (Justin Theroux), yang suatu hari mendadak hilang dari kehidupan Audrey. Drew kembali bersama serombongan pembunuh, juga jajaran MI6, yang semuanya mengincar flash drive yang disembunyikan Drew. Bisa ditebak, flash drive itu jatuh ke tangan Audrey, dan membawanya bersama Morgan terlibat kucing-kucingan berskala internasional, sebagaimana James Bond selalu lakukan.

Jalannya Cerita Filim The Spy Who Dumped Me 2018

Tentu flash drive itu sebatas MacGuffin dengan satu-satunya fungsi yaitu membawa kedua tokoh utama menuju petualangan gila di bermacam-macam lokasi. Penulis naskahnya, Susanna Fogel (juga sebagai sutradara) dan David Iserson pun tak berusaha menyamarkan tugas tersebut. Kita hanya tahu, isi flash drive tersebut sanggup membobol jaringan internet di seluruh dunia lewat “pintu belakang”. Cara pastinya, pembuatnya, serta segala detail lain seutuhnya dikesampingkan. Terpenting, Audrey dan Morgan tak boleh membiarkannya jatuh ke tangan musuh, biar alurnya sendiri bisa terus bergerak menuju tempat-tempat berikutnya. Apa yang terjadi sesudah datang di destinasi tidak penting, bukan mustahil, sepanjang petualangan, anda akan melupakan eksistensi flash drive itu.

Menu utama petualangannya ialah kebodohan. Hampir semua tokoh film ini punya kebodohan. Dari biro CIA yang selalu membanggakan status sebagai alumni Harvard, hingga si pembunuh berdarah hambar yang (nyaris) selalu tanpa verbal turut memperoleh porsi humor. Tapi materinya lemah, takkan memberi efek walau sekedar sebersit senyum andai tidak ada McKinnon yang memberi dorongan daya. Serupa komedian-komedian terbaik di luar sana, McKinnon tahu bagaimana menimbulkan tiap serpihan dirinya aset kelucuan, kemudian mengerahkan segalanya, mulai mata, senyum, hingga gerakan-gerakan eksentrik sebagai perempuan yang bersikap kolam cuma didasari intuisi gila. Saya pun yakin jikalau beberapa momen terbaik merupkan hasil dari improvisasinya. Sementara Kunis cukup sukses mengimbangi biar tak karam di balik pesona lawan mainnya.

Bahkan sesudah mendapatkan injeksi energi dari McKinnon, pula chemistry solidnya bersama Kunis, The Spy Who Dumped Me hanya berhenti di taraf “layak tonton”. Filmnya malah lupa melucu kala mengeksekusi porsi aksi, yang secara mengejutkan tampil brutal dan kental kekerasan. Pria yang terlontar dari sepeda motor, perempuan paruh baya yang tangannya tertusuk pisau dapur, menjadi beberapa pola perjuangan Susanna Fogel (Life Partners) menunjukan bahwa komedi-aksi dengan perempuan selaku pemeran utama tidak kalah “gahar” dibanding yang menampilkan bintang film pria. Sedikit berlawanan dengan tujuan membuat hiburan ringan, keberhasilan penyutradaraan Fogel merangkai agresi high octane membuatnya tak lagi jadi masalah.

Tingkat kekerasan itu sejatinya sudah cukup menghadirkan pesan subtil, tapi Fogel dan Iserson bagai kurang puas jikalau belum berpesan melalui alurnya. Audrey digambarkan tidak pernah menuntaskan apa pun yang ia mulai. Apa tepatnya? Kita tak pernah melihat Audrey enggan menuntaskan sesuatu. She even finished so many lives with her gun and driving skil. Sedangkan Morgan terganggu atas cap “aneh” yang disematkan padanya dan ingin menunjukan anggapan itu keliru. Tapi The Spy Who Dumped Me terang memanfaatkan, mengeksploitasi kecacatan itu, sengaja menjadikannya seabsurd mungkin. Film ini rupanya juga bermuka dua, ibarat beberapa tokohnya yang menyimpan identitas belakang layar guna melangsungkan pengkhianatan. Begitu usai, secara umum dikuasai kontennya akan terlupakan kecuali McKinnon yang sepadan dengan harga tiketnya.

Kamis, 17 Januari 2019

Ringkasan Cerita Filim Si Doel The Movie 2018

Ringkasan Cerita Filim Si Doel The Movie 2018

Ringkasan Cerita Filim Si Doel The Movie 2018
Ringkasan Cerita Filim Si Doel The Movie 2018
Ringkasan Cerita Filim Si Doel The Movie 2018, Terdapat cara mengidentifikasi apakah anda termasuk sasaran pasar Si Doel the Movie atau bukan. Apabila mendengar kepingan lirik “Aaanak Betawiiii...” membawa anda melayang ke ruang nostalgia bahkan emosional, atau anda bisa mengasosiasikan voice over, foto keluarga, sampai tanjidor dengan momen-momen tertentu dari sinetronnya, maka film ini untuk anda. Karena artinya, ibarat saya, keseharian anda sempat ditemani Si Doel Anak Sekolahan (1994-2003). Sedangkan bagi penonton baru, alias tanpa kenangan wacana sinetronnya, mungkin kedekatan emosi takkan didapat.

Si Doel The Movie 2018

Tapi jangan khawatir, lantaran Rano Karno, yang menjadi sutradara (debut layar lebarnya) sekaligus penulis naskah (pernah menulis Satu Jam Saja dan Anak-Anak Malam) selain tentunya memerankan Doel, berbaik hati mengatakan penjelasan. Bukan klarifikasi asal taruh layaknya kursus kilat, melainkan bersifat alami. Misalnya dari obrolan ketika Sarah (Cornelia Agatha) mengungkapkan alasannya meninggalkan Doel 14 tahun lalu. Kita diberi tahu latar belakang yang terjadi dalam sebuah pembicaraan yang masuk akal terjadi. Bisa juga lewat bahasa visual, ibarat kala Koh Ahong (Salman Alfarizi) melirik Zaenab (Maudy Koesnaedi), ketika Mak Nyak (Aminah Cendrakasih) bertanya, mengapa ia belum menikah? Penonton awam sanggup menangkap adanya perasaan khusus Koh Ahong.

Jalannya Cerita Filim Si Doel The Movie 2018

Bagi penggemar, mendapati tokoh-tokoh idola masih sama ibarat dalam ingatan sudah menjadi kepuasan tersendiri. Contohnya Mandra (Mandra), selaku abjad pertama yang mengisi layar. Langsung ia pamerkan lisan besar ciri khasnya, yang gemar pamer juga mengeluh, sekaligus berperan sebagai motor unsur komedi yang konsisten mencerahkan suasana sepanjang durasi. Kali ini beliau pamer lantaran akan diajak Doel ke Belanda demi memenuhi proposal pekerjaan dari Hans (Adam Jagwani). Paruh awal ini agak terganggu akhir lemahnya penataan bunyi yang kerap menciptakan obrolan tenggelam. Untungnya, duduk kasus ini tak berlangsung lama, hilang semenjak Doel dan Mandra berangkat, meninggalkan Atun (Suti Karno) dan Zaenab di rumah.

Zaenab pun sama, masih perempuan penyabar, ikhlas, selalu mendapatkan walau di belakang senantiasa terluka. Dia bersabar menanti Doel memberi kabar setibanya di Belanda, sama ibarat ketika ia sabar menanti sang pujaan hati membalas cintanya. Begitu sabar, walau dalam dua situasi itu, Sarah selalu menghalangi. Tanpa melihat trailer pun kita tahu kekhawatiran Zaenab mengenai pertemuan Doel dan Sarah bakal terwujud. Bukan Si Doel namanya tanpa konflik cinta segitiga mereka. Konflik yang bersama-sama “jalan di tempat”, meski kini, status ijab kabul menambah kompleksitas. Doel belum resmi menceraikan Sarah, sementara ia sudah menikah siri dengan Zaenab.

Keseluruhan alurnya, yang beberapa poinnya pernah ditampilkan di FTV Si Doel Anak Pinggiran (2011), bagai menjembatani dongeng usang menuju problematika baru, tak ubahnya episode pilot untuk story arc berikutnya. Layaknya pilot pula, dinamika permasalahan tak seberapa. Mengecewakan, namun bisa dipahami. Mayoritas franchise lawas yang dibangkitkan lagi, niscaya dimulai dengan sajian yang murni mengarah nostalgia demi merenggut kembali perhatian penggemar usang ketimbang eksklusif menjabarkan narasi gres yang utuh dan “layak”.

Doel balasannya bertemu dengan Sarah di Tropenmuseum. Pemilihan lokasinya sesuai. Museum merupakan daerah menyimpan artefak masa kemudian semoga tak terlupakan, sebagaimana Sarah yang sulit Doel lupakan walau kekerabatan keduanya telah berlalu. Mungkin ibarat kata Mandra, Doel ialah orang primitif yang menyukai masa lalu, atau sebaliknya, ibarat para pengunjung museum, ia menghargai meori, memperlakukannya dengan penuh cinta. Tokoh utama kita ini memang tidak pernah berubah. Masih diam, tertutup, penuh keraguan. Bahkan tatkala bertatap muka untuk kali pertama dengan Dul (Rey Bong), anaknya. Sikapnya terkesan terlalu dingin, toh sanggup dimaklumi, meningat “anak harus hormat kepada orang bau tanah apa pun kondisinya” termasuk nilai kekeluargaan yang Rano Karno, beserta dongeng Si Doel junjung semenjak dahulu.

Cornelia Agatha, yang balasannya kembali ke layar lebar sesudah 12 tahun semenjak Jatuh Cinta Lagi, sanggup mengubah kalimat klise ibarat “Aku yang salah!” menjadi emosional. Dia dan Rano Karno—dalam kapasitas selaku sutradara—saling mengisi bermodalkan pemahaman masing-masing atas mise en scène demi menguatkan dramatisasi. Cornelia, layaknya pemain film panggung yang baik, tahu kapan mesti bererak, berdiri, melangkah menjauh dari lawan bicara guna memberi penekanan. Terkait penempatan blocking pada penyutradaraan Rano Karno, saya menyukai sebuah adegan ketika Doel tengah kusut pikirannya, sementara Sarah dan Dul, jauh di belakang, di luar titik fokus kamera, beraktivitas tanpa sepengetahuan Doel. Momen non-verbal tersebut bicara banyak, khususnya soal isi pikiran Doel. Si Doel the Movie terang punya segalanya untuk menghasilkan lebih dari obat nostalgia. Tapi untuk sekarang, tujuan itu rasanya sudah cukup.

Rabu, 16 Januari 2019

Ringkasan Cerita Filim Kafir: Bersekutu Dengan Setan 2018

Ringkasan Cerita Filim Kafir: Bersekutu Dengan Setan 2018

Ringkasan Cerita Filim Kafir: Bersekutu Dengan Setan 2018
Ringkasan Cerita Filim Kafir: Bersekutu Dengan Setan 2018

Ringkasan Cerita Filim Kafir: Bersekutu Dengan Setan 2018, Kalau anda mencari horor yang tidak semata bergantung pada jump scare berisik dan mengandung kisah untuk dituturkan, maka Kafir: Bersekutu dengan Setan mengatakan alternatif tersebut. Tanpa kaitan dengan Kafir (2002) kecuali pada kemiripan judul dan penampilan Sujiwo Tejo sebagai dukun santet, film yang naskahnya digarap oleh Upi (#TemanTapiMenikah, Sweet 20, My Stupid Boss) dan Rafki Hidayat ini akan diingat selaku film yang berani mencoba pendekatan berbeda di tengah tornado horor yang minim variasi, baik wacana gaya maupun kualitas. Perlu diapresiasi, meski menyimpan setumpuk kelemahan sehingga memperpanjang penantian atas “horor bagus” pasca Pengabdi Setan.

Kafir: Bersekutu Dengan Setan 2018

Kafir: Bersekutu dengan Setan dibuka oleh atmosfer menjanjikan. Terasa tidak nyaman, berbekal nuansa lawas hasil pewarnaan, tata artistik, serta musik, yang  tak pelak memunculkan komparasi dengan Pengabdi Setan. Sri (Putri Ayudya), bersama sang suami, Herman (Teddy Syach) dan puterinya, Dina (Nadya Arina) sedang makan malam bersama, sembari menanti kepulangan si anak laki-laki, Andi (Rangga Azof). Mendadak Herman muntah darah. Dia tewas dengan kaca keluar dari mulutnya. Tidak salah lagi, Herman merupakan korban santet. Siapa pun pelakunya ia benar-benar ingin menghancurkan keluarga ini hingga ke akarnya. Itulah mengapa meja makan dipilih jadi panggung pembunuhan.

Jalannya Cerita Filim Kafir: Bersekutu Dengan Setan 2018

Mengapa meja makan? Karena di situ, beserta acara makan bersama, seringkali jadi ajang bertukar rasa antar anggota keluarga. Mematikannya, berarti mematikan suatu keluarga. Benar saja, sepeninggal Herman, kehangatan memudar. Kafir: Bersekutu dengan Setan menggunakan bentuk horor psikologis guna membungkus paruh awalnya. Trauma yang dialami Sri jadi sorotan. Lagu kesukaan Herman dihentikan diputar, pun enggan ia memasak opor ayam kesukaan mendiang suaminya itu. Sewaktu Andi—yang membawa pacar barunya, Hanum (Indah Permatasari)—tersedak kala makan, wajah Sri pribadi dipenuhi teror. Memori final hidup tragis Herman muncul, dan Putri Ayudya tampil meyakinkan memerankan perempuan yang terluka luar-dalam.

Sri melihat panci yang terjatuh sendiri, “kembaran” Andi, hingga noda hitam yang tak kunjung hilang di langit-langit. Apakah itu semua positif atau sebatas produk stress berat mendalam? Naskahnya tak pernah menyelami pertanyaan itu lebih jauh, meninggalkan banyak kekosongan berwujud observasi tanpa eksplorasi dalam alur bertempo lambat. Jangan harapkan jump scare bombastis. Beberapa perjuangan mengageti penonton tetap dilakukan, tapi tak dieksploitasi. “Atmosferik” ialah kesan yang ingin diciptakan, walau ketidakmampuan sutradara Azhar Kinoy Lubis (Jokowi, Surat Cinta untuk Kartini) mengkreasi tensi, khususnya kala tiada kejadian besar terjadi, menghalangi tercapainya tujuan tersebut.

Penonton hampir tidak pernah ditempatkan di posisi karakterya. Sri ketakutan, saya tidak. Sebabnya sederhana: keanehan-keanehan di sekitar Sri tak nampak mengerikan di layar. Benda-benda bergerak, alat musik berbunyi sendiri, semua itu seram apabila terjadi di realita. Namun di film, anda tidak bisa sekedar menangkap kejadian itu di kamera kemudian berharap ketakutan otomatis timbul di hati penonton. Butuh ketrampilan juga sensitivitas guna melukis gambar-gambar menyeramkan, biar ketakutan karakternya tersalurkan ke penonton. Azhar tidak (atau belum) memiliki itu.

Dinamika meningkat ketika Jarwo (Sujiwo Tejo) masuk, menampilkan gaya creepy nan eksentrik miliknya. Di sini terjadi “hal besar” ketimbang sekedar kejadian poltergeist, sehingga Azhar memperoleh amunisi berlebih. Adegan yang melibatkan api di kediaman Jarwo tersaji mendebarkan pula mencengangkan. Selain itu, filmnya mulai memasuki babak penelusuran misteri. Berkutat pada pertanyaan “Siapa pelaku santet?”, pengenalan misterinya menarik. Jika berhenti di wacana “siapa”, jawabannya gampang ditebak bahkan semenjak setengah jam pertama, tapi dalam jenis dongeng whodunit, proes pun penting.

Penelusuran fakta yang tersibak satu demi satu merupakan pondasi yang wajib dibangun lebih dulu. Namun Kafir: Bersekutu dengan Setan lalai melibatkan penonton dalam penyelidikan. Terlihat ketika beberapa kali karakternya menemukan petunjuk yang urung diungkap kepada penonton. Dengan demikian, durasi bergulir dan alur terus bergerak maju, tapi kolam tanpa progres. Seluruhnya ditimbun, disimpan bagi third act yang terasa tidak sinkron dengan keseluruhan film, khususnya terkait pembawaan over the top Indah Permatasari dan Nova Eliza. Penampilan keduanya di titik puncak kolam berasal dari horor yang mengedepankan unsur “fun” atau bahkan b-movie. Tidak buruk, hanya bukan di sini tempatnya. Their performance don’t belong here.

Paling tidak klimaksnya menyimpan momen tidak mengecewakan menegangkan yang melibatkan darah dan kekerasan. Sayang, kelebihan itu lagi-lagi tidak berlangsung lama, tepatnya hingga film ini melaksanakan simplifikasi terkait cara mengakhiri konflik. Perkelahian yang ditangani begitu canggung oleh Azhar ialah cara yang dimaksud. “Beat ‘em upis the easiest (read: the laziest) way to ends a conflict in any movie. Ingin sekali rasanya berkata “Saya mengagumi film ini”, dan terang saya mengapresiasi usahanya ampil beda. Tapi sesudah horor jelek gentayangan silih berganti di bioskop, saya, dan rasanya lebih banyak didominasi penonton, ingin segera menyaksikan hasil lebih tinggi.

Ringkasan Cerita Filim Aib: #Cyberbully 2018

Ringkasan Cerita Filim Aib: #Cyberbully 2018

Ringkasan Cerita Filim Aib: #Cyberbully 2018
Ringkasan Cerita Filim Aib: #Cyberbully 2018

Ringkasan Cerita Filim Aib: #Cyberbully 2018, Masalah Aib: #Cyberbully bukan pemakaian konsep found footage berbasis Skype serupa Unfriended (2014). Konsep sama tidak berarti menjiplak selama elemen-elemen di dalamnya berbeda. Searching yang bakal rilis bulan ini pun mengusung gaya setipe. Masalah timbul bagi Aib: #Cyberbully ketika terdapat kesamaan di banyak sekali detail dengan film garapan Levan Gabriadze tersebut. #JanganDianggapRemeh, demikian suara hashtag wacana perundungan di internet yang coba film ini populerkan. Tapi sepertinya, Amar Mukhi selaku sutradara, penulis naskah, sekaligus produser, menganggap remeh plagiarisme.

Aib: #Cyberbully 2018

Pertama, mari bicarakan premisnya. Tujuh orang sahabat dihubungi via Skype oleh sahabat mereka, Caca (Ade Ayu), yang beberapa tahun lalu, semasa SMA, meninggal bunuh diri sehabis tertekan akhir informasi pelecehan seksual terhadapnya disebarkan di situs sekolah. Pelakunya salah satu dari mereka bertujuh. Arwah Caca pun melibatkan mereka dalam permainan ajal untuk mengungkap malu diri sendiri, teman, dan keluarga. Menolak berarti mati. Permainan itulah yang mendorong mereka “saling tusuk” satu sama lain. Unfriended, punya dongeng serupa. Bedanya, karakternya memainkan “Never Have I Ever”, yang pada dasarnya juga soal membuka rahasia.

Ringkasan Cerita Filim Aib: #Cyberbully 2018

Sekarang karakternya. Ada sepasang kekasih, Sarah (Yuniza Icha) dan Antoni (Harris Illano) yang mengawali obrolan. Apabila pasangan di Unfrieded berniat melepas keperjakaan di malam prom, Sarah dan Antoni hendak melaksanakan cybersex, yang berjalan terlalu usang (lebih dari 5 menit), hingga saya merasa sedang menyaksikan rekaman tindak mesum sampaumur di Camfrog yang bocor. Pun di kedua film sama-sama ada aksara bertubuh tambun yang jago mengoperasikan komputer. Kemiripannya terus bertambah, tapi bila saya lanjutkan, ulasan ini akan menjadi checklist.

Menariknya, di luar kemiripan (baca: plagiarisme) itu, pasca kecanggungan tanpa henti “rekaman Camfrog” tersebut, Aib: #Cyberbully ternyata merupakan tontonan intens. Benar bahwa tersimpan kelemahan aspek teknis, semisal judul rekaman bunuh diri Caca yang berbunyi “Girl Committed Suicide in Hostel in Bihar”,  yang video aslinya akan gampang anda temukan di Google. Kelalaian yang semestinya tak terjadi mengingat ukuran judul itu cukup besar mengisi layar. Selain itu, pertukaran dialog, pertengkaran, yang membawa kita menuju terungkapnya satu per satu malu yang lebih banyak didominasi tiba dari video yang mereka bagikan di Facebook, dituturkan secara dinamis.

Aib yang dibagikan tidak beranjak dari seputaran melacurkan diri, perselingkuhan, seks antar teman, hingga LGBT. Hal-hal itu memang paling gampang dijadikan kambing hitam, yang membantu kebuntuan wangsit penulis naskahnya. Untunglah proses menuju terbongkarnya tiap malu cukup seru, pun bisa menjaga atensi. Bahkan secara mengejutkan, film ini tidak preachy terkait penuturan pesan sosialnya. Tidak ada petuah berulang soal larangan cyberbully. Tanpa banyak berceramah, filmnya pribadi menghadirkan konsekuensi atas tindakan tersebut.

Pun Amar Mukhi cukup baik mengeksplorasi kesemuan persahabatan sampaumur melalui kisahnya. Mereka bertujuh mendeklarasikan “Sahabat selamanya!”, tapi tak butuh waktu usang untuk saling serang, saling menyalahkan, saling membuka diam-diam kelam. Seiring permainan berjalan, semakin kentara bahwa karakternya melaksanakan itu bukan demi bertahan hidup dalam permainan ajal Caca, melainkan didorong amarah serta hasrat balas dendam. Sayang, naskahnya lemah soal penulisan dialog. Pertengkaran pun berkutat tidak jauh-jauh dari kata-kata ibarat “anjing”, “bangsat”, dan umpatan klise lain. Hal ini diperparah oleh akting monoton jajaran cast, yang sekedar berteriak di volume tertinggi. Memasuki pertengahan, pendengaran saya semakin lelah mendengar histeria itu.

Kalau Unfriended mengandung adegan memorable ketika salah satu tokoh tewas sebab blender, maka Aib: #Cyberbully punya...well, saya tidak tahu apa yang terjadi. Dicekoki tuts keyboard? Tertusuk tuts keyboard? Sudut pengambilan gambarnya tak membantu. Sebagai cara menjangkau penonton lebih luas, film ini bukan saja mengandalkan pembantaian, juga formula jump scare sebagaimana biasa, yang sayangnya, gagal tampil mengerikan akhir riasan pula metode kemunculan hantu yang begitu ala kadarnya.

Ditambah lagi, bila Aib: #Cyberbully memang ingin memalsukan Unfriended, ada satu poin penting yang dilupakan, ialah tidak munculnya sosok hantu, bahkan lewat foto profil Skype sekalipun. Hal itu menghasilkan tensi dari ketakutan atas teror tak terlihat, sekaligus misteri seputar kebenaran teror itu—sebatas prank orang usil atau agresi hantu—yang diungkap secara bertahap. Walau harus diakui, di samping banyak sekali kekurangannya,  Aib: #Cyberbully masih cukup menghibur. Namun saya tidak bisa memperlihatkan nilai positif terhadap film yang terang-terangan memalsukan karya lain, tidak peduli seberapa cantik hasilnya. Sebab urusan orisinalitas #JanganDianggapRemeh.

Selasa, 15 Januari 2019

Ringkasan Cerita Filim Sebelum Iblis Menjemput 2018

Ringkasan Cerita Filim Sebelum Iblis Menjemput 2018

Ringkasan Cerita Filim Sebelum Iblis Menjemput 2018
Ringkasan Cerita Filim Sebelum Iblis Menjemput 2018

Ringkasan Cerita Filim Sebelum Iblis Menjemput 2018, Kenapa kualitas horor lokal tak berbanding lurus seiring dengan peningkatan kuantitasnya belakangan? Kemungkinan besar lantaran dominan pembuatnya, meski sering menonton horor (who doesn’t?), tidak menaruh rasa cinta terhadapnya, sehingga kurang memahami seluk beluknya jawaban miskin referensi. Sebab horor sendiri beraneka ragam cabangnya. Dari trashy sampai artsy, dari slasher hingga supranatural. Selain Joko Anwar yang sudah kita saksikan pembuktiannya lewat Pengabdi Setan, ada Timo Tjahjanto yang sebelumnya mempersembahkan Rumah Dara (sebagai Mo Brothers bersama Kimo Stamboel) juga Safe Haven (berduet dengan Gareth Evans) selaku segmen dalam antologi V/H/S/2 (2013).

Sebelum Iblis Menjemput 2018

Harapan publik, termasuk saya, kepada karya terbaru Timo, Sebelum Iblis Menjemput, luar biasa besar. Apalagi sesudah menanti hampir setahun, belum ada horor lokal mumpuni penerus prestasi Pengabdi Setan. Sebelum Iblis Menjemput dibentuk atas dasar kekaguman Timo atas Sam Raimi, khususnya trilogi Evil Dead. Teror tiba dari entitas jahat yang merasuki manusia, mengubah mereka jadi makhluk buas menyerupai Deadite, lengkap dengan riasan serupa (plus sedikit imbas dari Pazuzu-nya The Exorcist?), yang pada salah satu serangannya, melompat dalam balutan POV shot sebagaimana gemar digunakan Raimi.

Jalannya Cerita Filim Sebelum Iblis Menjemput 2018

Ceritanya masih menggunakan formula “cabin in the wood”, tapi alih-alih sekelompok cukup umur penuh hasrat, tokohnya terdiri atas anggota keluarga disfungsional. Ketika Lesmana (Ray Sahetapy), mantan pengusaha sukses yang telah gulung tikar terbaring di rumah sakit jawaban penyakit misterius, puteri dari kesepakatan nikah pertamanya, Alfie (Chelsea Islan) terpaksa kembali pulang. Alfie masih terluka lantaran dahulu Lesmana meninggalkan ia dan ibunya, yang kemudian tewas bunuh diri, untuk menikahi artis ternama, Laksmi (Karina Suwandi). Pernikahan kedua ini memberi Lesmana tiga buah hati: Maya (Pevita Pearce), Ruben (Samo Rafael), dan si bungsu Nara (Hadijah Shahab).

Berniat menguasai harta sang suami, Laksmi mengajak ketiga anaknya mengunjungi vila milik Lesmana guna mencari barang berharga yang bisa “diamankan”. Tapi mereka, termasuk Alfie yang tiba lantaran enggan membiarkan Laksmi berbuat seenaknya, justru menemukan diam-diam mengerikan serta teror mematikan yang disembunyikan sang ayah. Jangan berharap rekonsiliasi emosional di antara mereka. Melalui Sebelum Iblis Menjemput, Timo hanya ingin memindahkan neraka dan segala isinya ke dunia manusia. Menghadirkan kengerian audiovisual merupakan tujuan tunggal film ini.

Departemen audio, selain lagu bernuansa lawas berjudul Hampa, diisi scoring karya Fajar Yuskemal (The Raid, Killers) yang mengkombinasikan denting piano ritmis bernada tinggi di satu kesempatan, dengan suara synth yang memunculkan kesan serupa music score era 70-80an macam Tubular Bells (lagu tema The Exorcist) di kesempatan lain. Tidak heran, alasannya ialah sengaja atau tidak, Sebelum Iblis Menjemput juga mengingatkan pada film buatan William Friedkin itu. Apabila Friedkin sesekali menyelipkan “wajah iblis” secara sembunyi-sembunyi, Timo pun sempat memasukkan sekilas penampakan yang mungkin penonton lewatkan (hint: Chelsea Islan dan bus).

Salah satu pertanyaan yang sering diajukan seputar film ini tentu terkait kadar gore. Sebab berkat itulah karya Timo banyak digandrungi pecinta horor. Sebelum Iblis Menjemput boleh tidak seeksplisit Rumah Dara, pun tak menumpahkan darah sebanyak itu, namun cukup untuk menciptakan anda meringis ngeri sambil menutup mata. Beberapa elemen gore juga berfungsi melengkapi jump scare, yang Timo kemas semoga tidak asal mengageti, pula berdampak. Saat iblis menyeret badan karakternya, kita melihat kuku-kuku si huruf terlepas, berdarah, sebagai jawaban perjuangan melarikan diri. Iblis muncul bukan cuma untuk “setor muka”, melainkan ada perjuangan kasatmata mendatangkan janjkematian bagi korbannya.

Timo, menyerupai sutradara horor bertalenta lain, cerdik memainkan ekspektasi. Salah satu sekuen paling menegangkan, melibatkan Nara di kamar tidur. Timo paham kapan penonton menduga jump scare bakal menyerbu. Berbekal itu, saya dipaksa menahan nafas, terombang-ambing di tengah penantian tidak pasti, sambil secara perlahan, dibarengi keheningan, wajah orisinil teror diungkap. Sedangkan alur berjalan penuh kesabaran, terkadang pelan, tetapi tak pernah melepakan cengkeraman berkat ketelatenan Timo, yang turut menulis naskahnya, menjabarkan poin-poin dongeng secara bertahap. Pemilihan timing-nya tepat, kapan mesti menggeber kengerian, kapan mesti berhenti sejenak guna bernarasi. Begitu teror diluncurkan, hadrilah pertunjukan mengenai cara memacu adrenalin berbekal kekacauan situasi.

Pujian wajib diberikan untuk tiga pemain drama wanitanya. Berkat mereka, “Neraka Dunia” ciptaan Timo tampak meyakinkan. Chelsea Islan akibatnya menemukan film yang tepat memfasilitasi gaya aktingnya, yang acap kali terkesan berlebihan di banyak sekali drama. Di sini luapan emosinya sesuai dengan kengerian yang karakternya hadapi. Pevita, walau belum sekuat rekannya, bisa mengangkat tensi titik puncak di mana sosok Maya berperan besar. Walau menyaksikan keduanya mengembangkan layar bagai cita-cita yang jadi kenyataan, Karina Suwandi muncul sebagai kekuatan tak terduga. Sang aktris menggila, kolam pelayan buas Bafomet yang bertugas mengacaukan seisi dunia.

Kelemahan Sebelum Iblis Menjemput terletak di third act yang gagal menandingi dinamika parade teror sebelumnya. Timo menolak menginjak pedal gas lebih kencang, menjadikannya terkesan diulur. Lagipula, durasi 110 menit bagi horor berskala kecil macam ini memang agak terlalu lama, saat 90an menit saja rasanya cukup. Bukan berarti klimaksnya buruk. Adegan-adegan yang muncul sebelumnya lah yang levelnya sukar dikejar. Sama menyerupai keseluruhan filmnya, yang meneruskan tongkat estafet dari Pengabdi Setan untuk menempatkan standar tinggi terhdap film horor Indonesia. Semoga tidak perlu menunggu satu tahun lagi hingga judul memikat berikutnya menjemput. 

Senin, 14 Januari 2019

Ringkasan Cerita Filim Fanney Khan 2018

Ringkasan Cerita Filim Fanney Khan 2018

Ringkasan Cerita Filim Fanney Khan 2018
Ringkasan Cerita Filim Fanney Khan 2018

Ringkasan Cerita Filim Fanney Khan 2018, Banyak anak (termasuk saya dulu), berpikir bahwa orang tua, atau dalam konteks di sini ayah, tidak mengerti mereka dengan segala impian dan kemauannya. Ayah kolam sosok menyebalkan yang gemar melemparkan pertanyaan yang berdasarkan sang anak tidak penting. Mereka tak tahu, bila berkebalikan dengan persepsi negatif tersebut, satu-satunya yang ayah inginkan tak lain memenuhi kemauan sang anak. Perbedaan zaman membuat jurangkultural sehingga ayah-anak sering berjarak kala berkomunikasi, dan pertanyaan-pertanyaan tidak penting itu sejatinya yaitu usaha memahami untuk memangkas jarak tersebut.

Fanney Khan 2018

Para ayah bekerja luar biasa keras, namun enggan memamerkan kesulitan-kesulitan di tiap langkahnya, lantaran terpenting baginya, si anak memperoleh apa yang diinginkan, bila perlu, tanpa bersusah-susah dahulu. Kondisi itu sebagaimana penampil tidak mengutarakan proses jatuh-bangun di belakang panggung kepada penonton, yang tidak butuh dan/atau tidak mau tahu. Walau  pengetahuan akan fase itu pasti membuat mereka lebih mengapresiasi sang penampil. Fanney Khan, selaku remake dari Everybody’s Famous! (2000) yang berhasil meraih nominasi Best Foreign Language Film sebagai perwakilan Belgia di ajang Oscar tahun 2000, mengajak kita mengintip suasana di belakang panggung.

Jalannya Cerita Filim Fanney Khan 2018

Prashant Sharma (Anil Kapoor) merupakan vokalis grup orkestra kelas kampung. Memakai nama panggung “Fanney Khan”, ia bermimpi menjadi penyanyi tenar, hingga realita memaksanya menjejak bumi. Tapi mimpinya tak pernah kandas. Fanney berharap sang puter kelak sanggup meneruskan impian itu, namun ia bukan ayah yang melampiaskan kegagalannya dengan memaksa puterinya meneruskan jejaknya. Sebab Lata (Pihu Sand) pun mempunyai hasrat serupa. Sayang, badan tambun menghalangi cita-citanya, tanggapan tiap beraksi di atas panggung, caci maki penonton ihwal bentuk tubuhnya selalu terdengar.

Lata merupakan korban ketidakadilan standar kecantikan, tetapi Fanney Khan tidak berusaha mengeruk simpati dari situ. Sebaliknya, Lata digambarkan sebagai tokoh yang kurang simpatik. Siapnya terhadap Fanney seringkali kasar. Misal ketika Fanney begitu bersemangat memperdengarkan lagu yang khusus ia ciptakan bagi Lata, namun Lata justru mengenakan earphone. Menyebalkan, tapi perilaku kebanyakan anak di masa dewasa memang demikian. Apabila anda merasa kesal melihatnya, mari berkaca sejenak, apakah kita pun bertindak begitu terhadap orang tua?

Skenario garapan Atul Manjrekar (juga sutradara), Hussain Dalal, dan Abbas Dalal mengusung formula tearjerker tradisional, bahkan lebih konvensional ketimbang kebanyakan drama mengharu biru buatan arus utama Bollywood belakangan. Berbagai momen penghinaan terhadap Lata disajikan berlebihan, terkesan manipulatif, dan berpotensi mengalineasi penonton yang telah lelah dengan formula demikian. Maka hadirlah Anil Kapoor, yang melalui performanya, memastikan penonton dari kelompok mana pun, bakal tersentuh oleh usaha Fanney Khan.

Raut wajah Anil memancarkan kemurnian, cenderung mengarah pada kepolosan. Sewaktu terlibat pertengkaran dengan Lata, Fanney tak memahami kesalahannya. Wajahnya, menunjukkan kebingungan sekaligus kesedihan. Hatinya terluka. Tapi elemen paling menyentuh yaitu setiap Fanney melihat mimpi puterinya bertahap mendekati kenyataan. Mata Anil bersinar, senyumnya mengembang lebar, menawarkan ibarat apa perwujudan kasih sayang nrimo seorang ayah. Kepolosannya, ditambah keputusasaan yang dipicu kesulitan uang dan ambisi memenuhi mimpi sang puteri, menimbulkan segala keputusan kurang pintar atau langkah absurd yang Fanney ambil sanggup dipercaya. Tidak sanggup dibenarkan, namun sanggup dipahami.

Langkah absurd di atas berupa aksinya menculik Baby Singh (Aishwarya Rai), megabintang sekaligus idola Lata. Apa yang Fanney minta selaku tebusan takkan saya sebut, lantaran merupakan pondasi konflik kompleks serta puncak emosi di paruh akhir. Tapi saya sanggup menyebutkan betapa memesona Aishwarya, dengan rambut merah, mata hijau, kepercayaan diri setinggi langit, ia terperinci mendefinisikan “Megabintang”, status yang juga ia sandang di kehidupan nyata. Dia pun bersinar dalam momen komedik. Seluruh adegan yang melibatkan interaksi konyol nan canggung antara Fanney dan Adhir (Rajkummar Rao) si penculik amatir dengan korbannya yang jauh lebih cerdik yaitu komedi brilian. Bertugas sebagai “perespon”, sang aktris tidak pasif, merespon lewat kelucuan yang mengeskalasi kualitas humornya.

Keputusan Fanney menculi Baby terperinci elemen problematik dalam naskahnya, yang berbeda dari film sumber inspirasinya, bukan berwujud satir. Penonton terang-terangan diajak membenarkan kegilaan Fanney. Belum lagi keterlibatan unsur Stockholm Syndrome di penculikan tersebut. Fanney Khan menentukan menyederhanakan semuanya, termasuk caranya menutup konflik yang melibatkan kriminalitas serta skandal berskala nasional. Film ini memang sederhana, formulaik, layaknya lagu pop yang mengalun mengikuti teladan sarat nada-nada kegemaran pasar yang simpel dimainkan pula diingat plus refrain uplifting.  Namun bukankah lagu ibarat itu yang simpel tertinggal di perasaan? Fanney Khan jelas demikian.

Ringkasan Cerita Filim Adrift 2018

Ringkasan Cerita Filim Adrift 2018 Ringkasan Cerita Filim Adrift 2018 Ringkasan Cerita Filim Adrift 2018, Sepasang kekasih ( or soo-...